Koperindo

Sekelumit Sejarah Koperasi Indonesia

 

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki dasar konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah Koperasi. Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai Koperasi. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, Koperasi disebut juga sebagai the third way, atau jalan ketiga, istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony  Giddens, yaitu sebagai jalan tengah antara system ekonomi kapitalisme dan sosialisme.

Di Indonesia koperasi telah dimulai oleh Raden Aria Wiriatmadja seorang Patih yang memiliki rasa sosial yang tinggi di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1895. Ia mendirikan Bank Penolong dan Penyimpanan dengan tujuan membantu para pegawai negeri yang terjerat hutang rentenir. Usaha Raden Aria Wiriatmadja ini kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Bisa dikatakan inilah cikal bakal perbankan di Indonesia. Jasa beliau pun diabadikan dalam bentuk patung di muka bangunan bank yang dirawat dan dilestarikan, dan kini merupakan bagian dari Museum Bank BRI di Purwokerto,

Seorang pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, Booke, juga menaruh perhatian terhadap Koperasi. Atas dasar tesisnya tentang dualisme sosial budaya masyarakat Indonesia antara sektor modern dan sektor tradisional, ia berkesimpulan bahwa sistem usaha Koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijakan pembinaan Koperasi. Meski Koperasi tersebut berkembang pesat hingga tahun 1933-an, pemerintah Kolonial Belanda khawatir Koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, namun Koperasi menjamur kembali hingga pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan.

Pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan Koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Bung Hatta meneruskan tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Ketertarikannya kepada sistem Koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan Koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang Koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara Koperasi sosial yang berdasarkan asas gotong royong, dengan Koperasi ekonomi yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Bagi Bung Hatta, Koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu Koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi. Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota Koperasi, setelah merasakan manfaat Koperasi.

Dengan cara itulah sistem Koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau Koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.

Sangat disayangkan, pada masa Orde Lama (1959-1965) Koperasi diselewengkan menjadi alat politik, sehingga seiring dengan jatuhnya orde tersebut tatanan koperasi yang dibangun dari atas itu pun hancur berantakan. Sebagai dampaknya, koperasi kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Usaha-usaha untuk mengembalikan koperasi pada Prinsip Koperasi sejati baru berhasil pada tahun 1967 yang antara lain ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian No. 12 tahun 1967. Dengan latar belakang sosio politik itulah Credit Union (Koperasi Kredit) mulai menanamkan benihnya di Indonesia.